Selasa, 18 Maret 2025

 PIJAKAN 

19 Maret 2025


kala itu hujan selalu menjadi hal yang menakutkan, apalagi gemuruh petir yang saling bersahutan, raga kecil dengan jiwa rapuh yang mulai kehilangan jati dirinya, namun 'jati diri' dalam arti yang berbeda berhasil terbentuk karena adanya sebuah paksaan, yang mungkin suatu saat dimasa depan nanti aku akan bersyukur karena memilikinya. 

namun hujan kali ini selalu menjadi salah satu hal yang ku nantikan, rintik - rintik yang jatuh menimpa bumi seolah mengajarkan suatu keikhlasan. Ditambah udara dingin yang menusuk kulit membuatku tersadar bahwa aku harus tau kemana arah pulang, sebuah tempat yang memberikan kenyamanan juga kehangatan tentunya. 

hujan di ibu kota kali ini tetap tidak membuat orang-orang menghentikan kegiatannya, seolah segala hal yang terjadi itu tidak perlu diresapi. kadang dunia menjadi tempat yang begitu menakutkan bagi orang-orang yang selalu mengejar kepuasan. padahal kebahagian bisa di dapat ketika kita bisa menerima dan memahami sesuatu yang tidak terucapkan. hanya lewat hati suara itu bisa terdengar. 

jalanan tetap ramai, kios-kios dengan lampu kemuning itu juga seolah menjadi sebuah tujuan untuk mencari kehangatan. tampak di dalam sana asap mengepul dari mesin pembuat kopi, canda tawa terus terlontar tak peduli pada keributan di luar jendela bulat dengan tanaman hias disampingnya. padahal di balik jendela itu banyak pejalan kaki yang mengumpat karena tak sengaja menjadi korban cipratan genangan air akibat kencangnya pengendara. 

aku terus berjalan menyusuri jalan yang perlahan mulai sepi, namun di lapang itu suara penonton tampak saling bersahutan membuat hangat pertandingan sepak bola di dalamnya. dan lagi - lagi kaki ku melangkah pergi meninggalkannya. hanya tinggal melewati satu jembatan lagi maka aku akan sampai di tempat yang ku sebut rumah. 

" hujan kali ini begitu indah bukan?" tak tahu asal suara itu, namun bisikannya membuatku merasa bahwa dia begitu dekat, ada bersamaku dan tidak pernah pergi. 

" dulu kau membencinya bukan? "

" kau selalu menyalahkannya, ketika apa yang kau ingingkan tidak termujud?"

" kau selalu mencacinya, bahkan dengan berani menentang semesta?"

"memang siapa dirimu ?" 

" aku adalah aku, sedangkan kau adalah aku yang dulu, aku yang tak pernah berdamai dengan takdir, aku yang selalu merasa terluka, kau adalah aku yang menjelma menjadi sebuah trauma karena keadaan memaksamu bersikap demikian, kau adalah aku yang dulu, sosok anak kecil yang selalu ada bersamaku"

ya aku melihatnya, dia adalah aku, sebuah sosok anak kecil yang terluka, badannya begitu ringkih, sorot matanya begitu  sayu seolah tidak ada secercah harapan disana. hanya menunggu waktu untuk membawanya pergi. 

kadang kala udara dingin itu memaksana untuk keluar. menunjukan dirinya. seolah dia ingin berkata pada dunia bahwa kehadirannya adalah sebuah bentuk nyata.

dunia kita begitu jauh, tapi dia akan selalu ada bersamaku. 

dan salah satu cara untuk terhubung dengannya adalah dengan menulis surat. ya sebuah tulisan. 

aku berteduh disebuah halte bus yang kebetulan kosong tidak seperti biasanya, tangangku bergerak seirama dengan gerakan pena yang menari di atas kertas, aku tersenyum lantas melipatnya, membentuk selembar kertas itu membentuk sebuah bentuk kapal laut, dan aku menyimpannya diantara alliran danau di bawah jembatan itu, biarlah kapal laut itu menjelma menjadi temannya.

langkah itu masih jauh, namun lagi-lagi suara itu mengganggu pikiranku, aku berusaha untuk pulang, aku memejamkan mataku, memeluk diriku sendiri, tak peduli bahwa kini aku sedang berada di pinggir jalan, dan tanpa sadar payung yang menjagaku agar tetap terlindungi kini sudah hilang, dan rintik hujan itu kini terasa begitu menyakitkan.

"hai amara, aku merindukan tawamu, keberanianmu, juga kebahagian yang selama ini ada dalam hidupmu, aku butuh kamu, untuk terus hidup, kita punya banyak mimpi yang harus dwujudkan bukan? kembalilah pulih aku membutuhkan sifat anak- anak itu, maaf jika aku menyakitimu, tapi kumohon mari kita melangkah bersama, berdamailah dengan waktu, kau punya aku, biarlah luka itu tetap ada, namun kita punya pilihan untuk menguburnya, aku sudah bahagia, maka mari genggam tanganku kita melangkah bersama."

" teruslah hidup amara" 

dan kini rintik hujan itu perlahan berhenti seperti pikiranku yang kembali tenang, tanpa sadar langit kembali cerah, semnyum dibibirku kembali, rasanya begitu damai, ternyata sosok itu ada dalam diriku dan untuk menyadarinya aku hanya perlu berbicara dengannya, dan walaupun belum sampai di tempat yang aku tuju, aku merasa utuh, rasa aman itu kembali terasa, ternyata selama ini kuncinya bukan di surat-surat yang aku kirimkan di danau, tapi kedamaian di hatiku. 

di ujung sana, menyatu dengan senja aku melihatnya begitu damai dan bisikan itu kembali terasa, sebuah bsikan yang menenagkan berbeda dengan bisikan sebelumnya yang terasa menyakitkan. 

" sekarang kau mengerti, bahwa rasa sakit itu tidak bisa dihilangkan, tapi untuk menghilangkan sebagai langkah awal, kau harus menerimanya, lantas kata ikhlas itu akan menemanimu sepanjang hidupmu."

" rumah itu ada di dalam dirimu. maka jangan lupa untuk kembali "

  PIJAKAN  19 Maret 2025 kala itu hujan selalu menjadi hal yang menakutkan, apalagi gemuruh petir yang saling bersahutan, raga kecil dengan ...